Banyak Anak Divonis Stunting karena Kurva WHO

Minggu, 28 Maret 2021 - 22:13 WIB
loading...
Banyak Anak Divonis Stunting karena Kurva WHO
Stunting di Indonesia merupakan masalah kesehatan yang menjadi prioritas pemerintah. Foto Ilustrasi/Oladoc.com
A A A
JAKARTA - Stunting di Indonesia merupakan masalah kesehatan yang menjadi prioritas pemerintah. Pada 2013, UNICEF menerbitkan laporan Improving Child Nutrition yang menyatakan bahwa Indonesia berada di peringkat ke-5 untuk jumlah anak dengan moderate atau severe stunting.

Data yang digunakan untuk laporan ini adalah Riskesdas 2013, di mana angka stunting anak balita di Indonesia mencapai 37%. Masalahnya, data Riskesdas tidak mendata stunting secara spesifik melainkan hanya menghitung panjang/tinggi badan populasi anak Indonesia, dan data tersebut terpisah dari data malnutrisi. Sehingga semua anak yang terukur pendek menurut standar WHO termasuk dalam angka stunting Indonesia. Termasuk anak yang pendek karena perawakan pendek normal dan anak yang pendek karena stunting, dan menyebabkan overestimation angka stunting yang sebenarnya.



Demikian dipaparkan Ketua Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Prof. Dr. dr. Aman B Pulungan Sp.A (K) dalam pidato upacara pengukuhan guru besarnya. Prof. Aman menyoroti penggunaan kurva WHO yang tidak sesuai untuk diterapkan pada anak-anak Indonesia.

Menurutnya, seharusnya pengukuran pertumbuhan anak menggunakan kurva nasional yang lebih tepat diaplikasikan di Tanah Air. ”Data stunting di Indonesia dihitung berdasarkan kurva WHO, sementara literatur menunjukkan penggunaan kurva standar WHO bisa menyebabkan overestimasi angka stunting karena rerata tinggi badan yang tidak representatif terhadap suatu populasi,” terang dokter yang pernah menjadi fellow mahasiswa kedokteran di Harvard University dan Tulane University, Amerika Serikat ini.

Padahal banyak negara seperti Jepang, India, China, dan Arab Saudi tidak menggunakan kurva standar WHO agar pengukuran antropometri lebih tepat dan lebih menggambarkan keadaan negara mereka.

Stunting adalah kondisi anak yang pendek disertai dengan kondisi malnutrisi. Sedangkan anak pendek bisa disebabkan karena berbagai sebab. Misalnya kelainan hormon, masalah kromosom, kelainan tulang, atau faktor genetik karena orang tuanya juga berpostur pendek. Jadi, jika orangtuanya pendek, tidak mungkin anaknya tinggi.

“Anak stunting pasti pendek, tapi tidak semua anak pendek tergolong stunting. Anak stunting itu pendek dan kekurangan gizi. Kalau anak pendek status gizinya baik, mereka tidak stunting. Harusnya yang kita urus hanya yang pendek kurus. Inilah yang sebetulnya potensi yang kita anggap stunting,” jelas Prof. Aman yang pernah mendapatkan tanda penghargaan dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Satya Lencana Karya Satya, pada 2009.

Kesalahan interprerasi terkait stunting bisa mendatangkan permasalahan sendiri. Bukan tidak mungkin anak Indonesia malah akhirnya berujung obesitas bahkan terkena ancaman penyakit metabolik. “Karena anak-anak normal juga dibuat menjadi gemuk. Akhirnya mereka diberi makan berlebihan,” bebernya.

Di Indonesia anak dengan berat badan lahir rendah sekitar di bawah 10%, tapi panjang badan rendah sekitar 22%. Prof. Aman mengatakan, anak-anak ini akan tetap pendek sampai usia 3 sampai 4 tahun.



Jika anak-anak ini dianggap menderita stunting kemudian diberi makan berlebihan, mereka malah akan berisiko mengalami penyakit metabolik. “Ini bahaya sekali kalau kita tidak menilai betul-betul secara komprehensif dan pengertiannya dengan betul,” pungkas Prof. Aman.
(tsa)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1299 seconds (0.1#10.140)